Sabtu, 19 April 2014
Kunikmati Dusta Bersama Senja.
Kunikmati
Dusta Bersama Senja.
Oleh: Ressa Andi Pratiwie.
Oleh: Ressa Andi Pratiwie.
Sepulang
kuliah aku berjalan kaki dengan ditemani baying-bayang. Masih tidak mempercayai
kisah kemarin senja yang terlukis dengan airmata. Aku mempercepat langkahku
menuju kamarku dilantai dua. Meletakkan tas,mengambil pena dan buku kotak-kotak
hijau lalu bergegas menuju tempat jemur pakaian diposjok sebelah pagar ada
kursi panjang jika menengadah pada malam hari akan terlihat jelas bulan dan
bintang. Iya, ditulah tempatku menuangkandalam muara kertas.
Kemarin
senja, aku menunggu senjaku (nama untuk kekasih hatiku) dilobi kampus seperti
biasa senjaku selalu menjemputku tetapi kali ini aku harus menunggunya lebih
lama lagi sekitar 2 jam lebih. Aku mencoba mengubah kejenuhanku menunggu dengan
berjalan keluar dari lobi kampus menuju pohon rindang tepat disebelah pintu
masuk ke kampusku. Tidak lama,kemudian selang 5 menit senjaku terlihat
disebrang jalan dan aku mencoba melukis senyum pada wajahku walaupun hatiku
mulai mendongkol tak karuan.
“ Maaf
ya, Abi terlambat.” Ucapnya ketika melihatku.
aku hanya manggut-manggut dan tersenyum. Setibanya di tempat kosku, senjaku menunggu diruang tunggu niat hari itu ingin mengajakku jalan-jalan. Bergegas aku menuju kamarku, mandi lalu merapikan bajuku tak lupa ku pakaikan wewangian berniat ingin terlihat manis untuk senjaku. Ketika aku menuju teras tunggu, rupannya senja masih asyik dengan handphone ditangannya tanpa ia sadari aku sudah duduk dismapingnya.
aku hanya manggut-manggut dan tersenyum. Setibanya di tempat kosku, senjaku menunggu diruang tunggu niat hari itu ingin mengajakku jalan-jalan. Bergegas aku menuju kamarku, mandi lalu merapikan bajuku tak lupa ku pakaikan wewangian berniat ingin terlihat manis untuk senjaku. Ketika aku menuju teras tunggu, rupannya senja masih asyik dengan handphone ditangannya tanpa ia sadari aku sudah duduk dismapingnya.
“ayo
berangkat, Bi.” Ajakku tiba-tiba.
“oia, hehe ada sms dari temennya abi. Oke ayo kita berangkat.” Jawab senjaku.
“oia, hehe ada sms dari temennya abi. Oke ayo kita berangkat.” Jawab senjaku.
Senyumnya kali ini begitu lekat sampai aku
memahami apa arti senyuman itu. Dalam perjalanan menuju rumah makan, senjaku
terus bercerita mulai dari apa saja yang ia lakukan ditempat kerjanya dan biasanya
tidak seperti itu. Ia hanya berbicara ketika memang penting untuk diceritakan
atau mungkin ia hanya ingin mencairkan suasana yang sedikit membisu.
Handphonenya kembali bordering bergegas ia mengambil dari saku jaketnya.
“kenapa
dimatikan, barang kali itu penting Bi. Coba diangkat kalau dihubungi lagi.”
Saranku ketika melihat ia mematikan handphonenya secepat kilat.
“tidak, nomernya Abi tidak kenal, Umi.” Jawabnya singkat.
“tidak, nomernya Abi tidak kenal, Umi.” Jawabnya singkat.
Ada yang aneh tetapia ku cepat-cepat menepiskan
prasangka yang perlahan menggrogoti rasa cemasku. Tidak ada cemburu lagi
gumamku dalam hati. Dan lagi-lagi handphone nya bordering kali ini ia bersikap
lain lagi secepat kilat ia mengambil handphonenya lalu sepertinya mengetik
sebuah pesan singkat untuk yang menghubungi tadi kemudian memasukkan lagi
kedalam saku jaketnya. Ada apa? Apakah ia mempunyai masalah? Berharap ia akan
bercerita kalau ia menganggapku ada.
Setibanya
dirumah makan, ia memesankan makanan kesukaanku ia juga memesankan ice cream
untukku. Aku sedikit lega karena ia mampu melunakkan hatiku. Ketika kita
menikmati hidangan dan mulai bisa bercanda , lagi-lagi handphonennya berdering
kembali. Seolah-olah handphonenya tidak ingin di anak tirikan. Aneh lagi, ia
menatapku seolah-olah aku melihat apa yang terjadi antara ia dan handphonennya.
Kembali ia tidak menghiraukan handphonenya meskipun deringnya berteriak-teriak.
Sikapku mungkin terlalu lancang tetapi aku tidak bisa menahan pradugaanku.
“maaf
Abi, Umi tidak menyukai hal seperti ini.” Ucapku
aku mengambil handphonenya yang baru saja ia keluarkan dari saku jaketnya.
“umi..” lirihnya.
Deg! Seperti tertusuk belati tembus hingga kebilik jantung. Seakan mati kata dan hamper mati rasa. Keluh rasanya bibirku untu mengata. Aku mencoba merangkul emosiku walaupun begitu aku tidak ingin mempermalukan kekasihku ditempat umum. Pada akhirnya meletup juga lewat bibir yang semakin berkeluh.
aku mengambil handphonenya yang baru saja ia keluarkan dari saku jaketnya.
“umi..” lirihnya.
Deg! Seperti tertusuk belati tembus hingga kebilik jantung. Seakan mati kata dan hamper mati rasa. Keluh rasanya bibirku untu mengata. Aku mencoba merangkul emosiku walaupun begitu aku tidak ingin mempermalukan kekasihku ditempat umum. Pada akhirnya meletup juga lewat bibir yang semakin berkeluh.
“aku
tidak apa-apa, Bi karena aku sudah menduganya.” Paparku kepada senja yang
tengah terdiam.
“apa
yang membuat Abi tega melakukannya? Adakah yang salah dariku? Ataukah?” tanyaku
tentang maksud isi pesan singkat itu.
“tidak ada umi. Ia hanya menginginkan untuk menjadi yang kedua. Awalnya ia menganggaapku sebagai kakaknya dan ….” Jelas senja kepadaku.
“tidak ada umi. Ia hanya menginginkan untuk menjadi yang kedua. Awalnya ia menganggaapku sebagai kakaknya dan ….” Jelas senja kepadaku.
“dan
Abi tidak bisa menolaknya dan rela mengorbankan perasaan Umi untuk terluka.”
Sergahku.
“bukan Umi, bukan sperti itu.” Jawabnya ketika ia mulai terpancing oleh kata-kataku.
“lalu, apa yang membuat Abi seperti ini?” tanyaku sekali lagi dengan mengamati wajah kekasihku.
“ umi akhir-akhir ini selalu gampang marah, penuh dengan keinginan-keinginan yang terlampau seperti anak kecil. Abi menyayangi umi tetapi pahami keadaan abi, mi.” jelas senjaku.
“iya, aku mengakui aku pemarah dan apapun keinginanku aingin mendapatkannya. Tahukah abi mengapa aku marah? Tahukah abi mengapa aku bersikap seperti itu? Tahukah abi. Umi mengkhawatirkanmu, menghubungimu seperti menetesi batu. Berbicara denganmu seperti berbicara dengan angin. Apa kau tahu aku selalu merindukanmu? Bahkan kau tak peduli kalaupun aku menangisi.” Akupun tak kalah menjelaskan.
“bukan Umi, bukan sperti itu.” Jawabnya ketika ia mulai terpancing oleh kata-kataku.
“lalu, apa yang membuat Abi seperti ini?” tanyaku sekali lagi dengan mengamati wajah kekasihku.
“ umi akhir-akhir ini selalu gampang marah, penuh dengan keinginan-keinginan yang terlampau seperti anak kecil. Abi menyayangi umi tetapi pahami keadaan abi, mi.” jelas senjaku.
“iya, aku mengakui aku pemarah dan apapun keinginanku aingin mendapatkannya. Tahukah abi mengapa aku marah? Tahukah abi mengapa aku bersikap seperti itu? Tahukah abi. Umi mengkhawatirkanmu, menghubungimu seperti menetesi batu. Berbicara denganmu seperti berbicara dengan angin. Apa kau tahu aku selalu merindukanmu? Bahkan kau tak peduli kalaupun aku menangisi.” Akupun tak kalah menjelaskan.
“umi
hentikan semua itu, jangan kau hujania aku dengan rindu yang membuatmu sakit.”
Pinta kekasihku.
“apakah menyanggupinya untuk menjadikan ia kekasihmu, kau menyukainya Bi? “ tanyaku terbata.
berusaha aku untuk tidak meneteskan airmataku. Aku tidak ingin ia tahu rapuhnya kau saat itu. Aku juga tidak ingin ia semakin menjadi dengan melihat airmataku.
“iya, aku meyukainya karena sifatnya yang dewasa dan berjanji akan memahamiku ketika aku lebih menyayangi Umi.” Jujur kekasihku.
“ karena itukah, jangan memberinya harapan untuk oranglain ketika kau telah mengharapkan kebahagian dengan kekasihmu terlebih dulu. Aku ingin kau bertanya kepada ia wanita yang memujamu apakah ia merasakan hal yang sama ,serupa sakit hati karena ia sama sepertiku perempuan. Aku mengerti ia juga menahan lara dalam hatinya. Namun ia tidak pernah melihata kiata berdua. Ia hanya menjadi tempatmu dimana kau jenuh denganku. Dua hati yang kau lukai saat ini. Aku membenci dusta seperti ini, Bi.” Jelasku kepada senja.
“Umi.. “ ia melirihkan suaranya.
“kenapa umi mengetahuinya, mengapa umi tidak marah ataupun memutusknku kali ini?” Tanya nya heran.
“karena ada cinta dihati Umi untuk Abi.” Jawabku singkat.
“apakah menyanggupinya untuk menjadikan ia kekasihmu, kau menyukainya Bi? “ tanyaku terbata.
berusaha aku untuk tidak meneteskan airmataku. Aku tidak ingin ia tahu rapuhnya kau saat itu. Aku juga tidak ingin ia semakin menjadi dengan melihat airmataku.
“iya, aku meyukainya karena sifatnya yang dewasa dan berjanji akan memahamiku ketika aku lebih menyayangi Umi.” Jujur kekasihku.
“ karena itukah, jangan memberinya harapan untuk oranglain ketika kau telah mengharapkan kebahagian dengan kekasihmu terlebih dulu. Aku ingin kau bertanya kepada ia wanita yang memujamu apakah ia merasakan hal yang sama ,serupa sakit hati karena ia sama sepertiku perempuan. Aku mengerti ia juga menahan lara dalam hatinya. Namun ia tidak pernah melihata kiata berdua. Ia hanya menjadi tempatmu dimana kau jenuh denganku. Dua hati yang kau lukai saat ini. Aku membenci dusta seperti ini, Bi.” Jelasku kepada senja.
“Umi.. “ ia melirihkan suaranya.
“kenapa umi mengetahuinya, mengapa umi tidak marah ataupun memutusknku kali ini?” Tanya nya heran.
“karena ada cinta dihati Umi untuk Abi.” Jawabku singkat.
Aku
memutuskan untuk segera pulang ketempat kosku. Tidak ada kata yang meramaikan
suasana kita pada saat itu. Yang ku fikirkan ahnya bagaimana aku bisa memahami
apa yang terjadi pada persaanku kali ini. Sakit, memang begitulah mencintai ada
pengorbanan walaupun harus menahan perih ketika terluka. Aku lekas memburu
penawar untuk lukaku agar tidak terlalu menganga.
Aku tidak memutuskan dan
senjakupun tak berkata untuk mengakhiri. Hanya saja aku masih menikmati
dustanya, dusta yang ia torehkan. Sebab aku enggan menyapa untuk sementara
waktu. Aku ingin memberika waktu untuk mereka berdua. Tetapi inilah cinta
sejatiku meski begitu ada senyum yang ku lukis untuk kekasihku ketika merindu.Author:Ressa Andi Pratiwie
Seperti itulah Manusia.. ada hujan ada pelangi.. namun tak tahu ketika tiba-tiba hujan berganti badai.. Read More →
Related Posts:
cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: